“3 TAHUN UNTUK 3 JAM”
“3 TAHUN UNTUK 3 JAM”
Oleh: Dedy Dermawan
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, “tak kenal maka tak sayang”. Namun persoalannya ialah, semua orang mungkin mampu dan bisa berkenalan, tapi tidak semuanya pernah bertemu secara langsung dalam perkenalanya. Olehnya itu, di sini aku akan bercerita terkait pertemuan yang membutuhkan perkenalan yang cukup lama.
Sebuah prasangka dapat meruntuhkan imajinasi dan bahkan menjadi sebuah keberuntungan, Yah… kurang lebih seperti itu yang aku alami. Hanya sebatas iseng membuka akun sosial media, tepatnya instagram, hingga akhirnya pandanganku tertuju pada postingan dari salah seorang teman karibku. Dalam foto itu, terlihat dia sedang berpose dengan dua wanita yang masing-masing memegang piala dan hadiah di tangannya. Nampak mereka baru saja memenangkan sebuah perlombaan. Sontak aku berfikir bahwa, mereka pasti orang-orang yang kaya akan prestasi. Akhirnya, tanpa berlama-lama aku memberanikan diri untuk berkenalan dengan salah satu dari wanita itu
Namanya Leli dan aku hanya mengenal nama itu, karena bagiku tidak penting untuk mempertanyakan sebuah nama jika yang dicari sudah terlihat. Jujur saja, aku merasa butuh dengan orang-orang seperti dia. Mungkin tanpa disadari pikiranku telah termaindset oleh sebuah pepatah yang mengatakan, “jika engka tidak bisa jadi cahaya maka mendekatlah dengan cahaya agar engkau merasakan dan bisa menerangi dirimu dengan cahaya itu” Artinya, jika kita tidak bisa seperti mereka (orang-orang hebat), maka cukup kamu mampu memetik ilmu dan bisa memotivasi dirimu dengan orang-orang seperti mereka hingga kamu pun dapat mencapai walau tak sebesar pencapaian mereka.
Tepatnya pada tahun 2017, aku mulai dekat dengannya. Bermodalkan trik modus tingkat dewa yang menjadi jurus ampuh kaum adam saat sekarang ini, atau lebih tepatnya aku menyebutnya sebagai sebuah penyelidikan. Saat mengenalnya lewat sosial media, sedikit banyaknya aku jadi tahu bahwa dia adalah sosok perempuan yang suka merendah dan tidak suka untuk dipuji perihal prestasinya. Akhirnya, lewat perkenalan itu, lambat laun waktu membawa kami mulai akrab satu sama lain dan beranjak memikirkan kapan kami bisa bertemu secara langsung.
Sayang beribu sayang, nyatanya keberuntungan belum berpihak pada kami. Pertemuan dengannya pun tak kunjung terlaksana, hingga pada akhirnya aku harus kembali ke kampung halaman. Sampai di sana, aku kembali mendapat hambatan. Kondisi jaringan yang tidak bersahabat menjadi kendala bagiku hingga tak lagi dapat berkomunikasi dengannya. Singkat cerita, pada tahun 2018 aku kembali ke Makassar. Saat itulah aku kembali menghubunginya lagi. Namun, di tahun yang sama aku berkenalan dengan salah seorang wanita dikampusku dan pada akhirnya wanita itu kemudian menjadi kekasihku. Hadirnya wanita itu dalam kehidupanku menjadikan aku tidak lagi bisa untuk menghubungi wanita selain dirinya termasuk menghubungi dia (Leli). Hal ini berlangsung kurang lebih satu tahun, hingga akhirnya aku kembali memutuskan untuk membangun komunikasi lagi dengan Leli.
Perkenalan kami pun masih mengidamkan sebuah pertemuan. Tapi sampai detik itu pun kami masih tak kunjung bertemu. Hingga akhirnya aku mulai berfikir bahwa itu tidak penting lagi dan tidak perlu ku perjuangkan. Aku pun mulai fokus pada duniaku sebagai mahasiswa di kampus serta romantisme tiada akhir yang menurutku sekarang ini hanyalah sebuah kesia-siaan dan kebodohan yang aku tutupi dengan rasa tidak bersalah. Aku merasa memperoleh kemerdekaan dan bebas untuk bersuara. Namun, di sisi lain aku seolah lupa bahwa ternyata aku punya tanggung jawab lain yang lebih penting dari hal tersebut.
Waktu berjalan begitu cepat, hingga sampailah pada tahun 2019. Aku kembali menjalankan rutinitasku sebagai seorang mahasiswa, namun dengan keadaan yang berbeda dari sebelumnya. Sambil kuliah aku memutuskan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhanku. Hingga pada suatu hari, aku merasakan beban hidup yang tidak mampu aku pikul sendiri. Kesedihan itu mengantarkanku kembali merindukan sosoknya yang selalu memberiku motivasi dahulu. Yah… dia adalah Leli, sosok perempuan yang kurindukan itu. Syukurnya, Tuhan begitu cepat mewujudkan harapanku itu. Aku dan dia kembali menyambung komunikasi yang sebelumnya terhenti. Hal ini pun berlanjut sampai pada tahun 2020.
Darinya, aku mulai merasakan kedewasaan seorang wanita. Bagiku, dia perempuan yang sangat baik, perhatian dan lebih dari penyelidikaku selama ini. Kala aku sakit ataupun lelah dengan beban hidup yang kupikul ini, dia menjadi orang yang paling peduli denganku. Sampai pada akhirnya aku merasakan sesuatu yang berbeda dengannya. Dia yang dulunya hanya kuanggap sebagai teman, kini entah mengapa aku merasakan hal yang istimewa darinya. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk memberikan duniaku padanya dengan sebuah ungkapan yang mungkin tidak seharusnya kuperuntukan kepada wanita sehebat dia yang mungkin tidak pantas untuk diriku yang penuh noda.
Seperti pada umumnya, semua ungkapan pernyataan kadang menimbulkan pengharapan yang mungkin tidak seharusnya dibalas. Hingga akhirnya aku menerima pengharapan itu. Hanya ada dua kemungkinan yang akan dia katakan, “Yes or No” dan jawaban yang dia berikan mungkin jawaban yang semua laki-laki tidak mengharapkannya. Sejujurnya aku merasa kecewa, tapi di sisi lain aku malu dengan ketulusanku yang semestinya tidak minta balasan. Aku yakin, dia telah memberikan jawaban yang tepat dengan melalui pertimbangan 1001 alasan bijaksana dalam keputusanya itu. Tapi terlepas dari hal itu, yang aku tahu, aku sudah mengungkapkan apa yang seharusnya aku ungkapkan.
Usai kejadian itu, kami tetap melanjutkan komunikasi seperti biasanya, dan hal itu tidak menjadi alasan untuk kami saling menjauhi satu sama lain. Kami cukup dewasa menanggapinya. Bagiku, tidak ada yang berubah dari sifatnya. Dia tetaplah menjadi wanita hebat di mataku. Namun, sama seperti awal perkenalan kami, pembahasan yang cukup lumrah yang sudah dibahas 2 tahun lalu terkait pertemuan kami yang tak kunjung terealisasikan pun kembali kami bicarakan. Sampai aku memperoleh kabar bahwa saat itu dia tengah menjalani program KKN (Kuliah Kerja Nyata). Akhirnya kami pun sepakat untuk bertemu saat dia pulang dari tempat pengabdiannya. Namun sayangnya, lagi dan lagi keberuntungan sampai saat itu belum juga berpihak, takdir selalu mencari jalannya sendiri. Ini sudah menjadi perencanaan kesekian kalinya yang belum juga bisa terlaksana. Hingga tibalah pada bulan Agustus, tepatnya 2 hari setelah hari raya Idul Adha.
Tanpa merasa bosan sedikit pun, aku kembali mempertanyakan pertemuan antara kami. Aku memutuskan untuk bertemu dengannya malam itu juga tanpa meminta persetujuan darinya. Pada awalnya, dia meminta untuk di undur sampai minggu depan. Tapi aku tidak setuju dengan usulannya itu. Bagiku, itu terlalu mengulur-ulur waktu. Aku tetap pada keputusan awalku. Sekilas hal ini terkesan memaksa, tapi bagiku ini menjadi cara paling ampuh untuk ditempuh. Akhirnya dia pun mulai meng-iyakan. Namun nyatanya cobaan kembali datang. Di waktu yang seharusnya kita bertemu, aku kembali mendapatkan kendala baru. Sepupuku yang baru balik dari kampungnya tiba-tiba memintaku untuk menjemputnya. Tapi aku tidak menjadikan hal tersebut sebagai penghalang rencana pertemuan kami. Hingga akhirnya sekitar pukul sepuluh malam, pertemuan yang telah lama didambakan itupun berhasil terwujudkan. Aku menjemputnya dan kemudian kami menikmati hidangan ayam geprek sembari membicarakan topik yang tidak ada habisnya jika ingin dibahas selama perkenalan tiga tahun belakangan ini.
3 tahun untuk 3 jam. Itulah kalimat yang cocok untuk mewakili perkenalan dan pertemuan kami. Aku butuh tiga tahun perkenalan untuk bertemu dengannya. Meski sebenarnya kami memiliki jarak tempat tinggal yang tidak begitu jauh, yakni hanya butuh waktu 15 menit untuk perjalanan. Tapi aku yakin semua ini merupakan drama sang Rububiyah, penuh hikmah dengan semunya. Dia wanita yang baik, yakin jalan terbaik untuk dia dan diriku.
Komentar
Posting Komentar